
Defisit Beras Di Tengah Status Penyangga Pangan
-Rabu, 11 Maret 2020
- 41 Ribu Ton Kebutuhan Masyarakat Didatangkan dari Luar Daerah
TANJUNG SELOR, Koran Kaltara – Provinsi Kalimantan Utara memiliki tugas berat dalam mengemban status daerah penyangga pangan Ibukota Negara Baru di Kalimantan Timur. Hal ini melihat kondisi neraca produksi beras daerah yang defisit hingga tahun 2019. Sederhananya, produksi beras lokal belum bisa mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat.
Dari Laporan Luas dan Produksi Padi tahun 2019 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltara awal bulan ini, diketahui jika defisit neraca produksi beras menunjukkan tren yang semakin dalam. Pada tahun 2018, diketahui defisit produksi beras berada di angka 36,87 ribu ton. Sedangkan pada tahun 2019 menjadi defisit 41,9 ribu ton. Angka ini mengalami kenaikan hingga 13,64 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2019, ada 41,9 ribu ton kebutuhan beras untuk konsumsi masyarakat yang didatangkan dari daerah lain.
Secara teknis, Kepala Bidang Statistik Produksi, Vivi Azwar menjelaskan, defisit produksi beras dilatarbelakangi penurunan luas panen sebesar 24,89 persen, atau seluas 3,4 ribu ha. Hal tersebut, turut mempengaruhi produksi padi yang menurun hingga 11,71 ribu ton gabah kering giling (GKG) jika dibandingkan tahun 2018. “Penurunan ini setara dengan 6,9 ribu ton beras untuk konsumsi pangan penduduk,” ujar Vivi, belum lama ini.
Dari penghitungan yang dilakukan, diketahui produktivitas mengalami penurunan sebesar 0,05 ton pada setiap hektarnya. “Produksi merupakan hasil perkalian antara luas panen dan produktivitas. Dengan demikian, penurunan produksi disebabkan oleh penurunan luas panen dan produktivitas yang terjadi secara bersamaan,” tambah Vivi.
Lebih detail, penurunan terbesar produksi sepanjang 2019, berada di bulan Januari, Februari, Maret dan Desember. Masing-masing mengalami penurunan sebesar 4,07 ribu ton atau setara 52,29 persen, 1,96 ribu ton atau setara 24,35 persen, 3,41 ribu ton atau setara 59,02 persen dan 2,46 ribu ton atau setara 27,28 persen ketika dibandingkan tahun 2018.
“Kenaikan hanya terjadi pada bulan September sebanyak 0,51 ribu ton dan di bulan Oktober sebanyak 2,82 ribu ton,” imbuhnya.
Sementara itu, penyumbang utama penurunan luas panen pada 2019 berada di Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, dan Kabupaten Bulungan. Masing-masing seluas 1,86 ribu hektare (32,39 persen), 0,72 ribu hektare (26,69 persen), dan 0,49 ribu hektar (10,18 persen) dibandingkan tahun 2018.
Terkait dengan kondisi ini, pemerintah daerah diharapkan bisa bergerak cepat untuk memperbaiki kinerja produksi beras di wilayahnya. Terlebih memasuki triwulan I tahun 2020 ini, neraca produksi beras daerah juga sudah mengalami defisit hingga 9,59 ribu ton. Hal ini dikarenakan produksi beras yang hanya sebesar 6,05 ribu ton. Sedangkan konsumsi masyarakat mencapai 15,64 ribu ton.
“Dari kami pihak statistik, setidaknya memberikan tiga rekomendasi awal sebagai referensi pengambilan kebijakan. Pertama, pemerintah perlu memperhatikan pergerakan produksi beras antarprovinsi dan kabupaten/kota. Sehingga bisa diketahui ke mana saja beras yang kita produksi selama ini. Kedua, pemerintah perlu melakukan updating luas lahan baku sawah secara berkala. Ketiga, pemerintah perlu mengamati jumlah ketersediaan beras dari waktu ke waktu. Paling tepat adalah per bulan, bukan kumulatif satu tahun,” tutup Vivi. (*)