Share:

Faktor Alam, Tantantan Program SOA Barang Di Kaltara

-Rabu, 15 Mei 2019

TRIBUNKALTIM.CO, TANJUNG SELOR - Salah satu kendala utama yang dihadapi dalam pelaksanaan program subsidi ongkos angkut barang (SOA) di Kalimantan Utara adalah sulitnya akses menuju titik distribusi.

Rayan Ferry, Staf Bidang Perdagangan Dalam Negeri Disperindagkop Kalimantan Utara mengatakan, tantangan utama tentu  daerah yang menggunakan jalur sungai. Perahu long boat harus berjibaku dengan sulitnya giram di hulu-hulu sungai.

Distribusi ke Kecamatan Pujungan dan Kecamatan Bahau Hulu diawali dengan perjalanan dari Tanjung Selor. Sebab jarak tempuhnya lebih dekat ketimbang dari Malinau Kota.

 

"Kalau air normal, dari Tanjung Selor ke Pujungan membutuhkan waktu 2 hari. Kemudian ditambah perjalanan 3 jam untuk tembus ke Bahau Hulu," sebut Rayan mendampingi Kepala Disperindagkop Kalimantan Utara Hartono, saat disua Tribunkaltim.co, Rabu (24/4/2019).

Jika sedang kemarau, praktis perahu long boat tidak bisa masuk ke Bahau Hulu.

"Kalau melansir dengan perahu-perahu kecil, resikonya juga terlalu besar. Ketika air bersahabat, bisa dilalui, saat itulah kita up supaya bisa masuk ke lokasi tujuan. Air terlalu besar juga tidak bisa, terlalu kecil juga tidak bisa," ujarnya.

Rayan mengatakan, untuk mengejar waktu, biasanya ketika akan melalui giram, barang angkutan long boat diturunkan agar long boat bisa lolos.

"Kalau tetap diangkut, bahaya karena barang bisa basa. Artinya kita antisipasi dengan cara barang harus diturunkan dulu ke darat dan kalau sudah lewat giram, dinaikkan lagi ke long boat," ujarnya.

Akses-akses yang sulit ini juga dijumpai untuk distribusi ke daerah-daerah perbatasan Nunukan seperti Lumbis Ogong, Seimanggaris, dan lainnya.

"Kalau ke Long Bawan, Krayan, pakai pesawat dari Nunukan. Di sana nanti didistribusikan ke lima kecamatan lainnya lewat darat maupun sungai," sebutnya.

 

Sulitnya akses membuat tarif pengangkutan barang ke daerah-daerah perbatasan ikut mahal, yang menyebabkan harga barang di perbatasan juga melonjak. Dengan subsidi ongkos angkut, harga barang yang diangkut akan sama dengan harga di kota.

Selain akses, kata Rayan, kendala lain program ini adalah keterbatasan anggaran. Anggaran Rp 9 miliar yang disiapkan masih jauh dari cukup.

"Jika terus dipakai, anggaran itu cukup untuk subsidi selama 3 bulan, sedangkan kebutuhan masyarakat kan sepanjang tahun," ujarnya.

 

Akibatnya, ketika barang di perbatasan yang disuplai dengan program subsidi ongkos angkut habis, maka harga kembali melonjak.

"Jadi semestinya harus berkesinambungan sepanjang tahun. Karena kalau subsidi habis, barang kembali naik harganya. Kita harapkan pusat memberi alokasi anggaran yang besar untuk subsidi ongkos angkut di Kalimantan Utara, karena kalau APBD saja belum cukup," ujarnya. (*)