Share:

Harga Mahal Karena Panjangnya Rantai Distribusi

-Jumat, 10 Januari 2020
  • Lima Komoditas Strategis Masyarakat di Atas Nasional

TANJUNG SELOR, Koran Kaltara – Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Laporan Pola Distribusi Perdagangan Komoditas Strategis yang dirilis 2 Januari 2020 mencatat, Margin Pengangkutan dan Perdagangan (MPP) lima komoditas strategis di Kalimantan Utara, berada di atas rerata nasional.

Hal tersebut, menggambarkan tingginya biaya distribusi dari tangan produsen ke konsumen akhir. Sehingga harga yang diterima masyarakat lebih mahal apabila dibandingkan rerata daerah lain di Indonesia.

Secara detail, diketahui lima jenis komoditas strategis yang MPP-nya di atas nasional adalah beras sebesar 23,33 persen, cabai merah sebesar 60 persen, bawang merah sebesar 87,80 persen, daging ayam ras sebesar 65 persen dan minyak goreng sebesar 28 persen. Khusus untuk bawang merah tercatat memiliki MPP tertinggi di Indonesia.

Sederhananya, ketika harga yang diterima masyarakat untuk membeli bawang merah dengan harga Rp100.000 per kg, berarti dengan MPP 87,80 persen, menunjukkan bahwa Rp87.800 dari harga  bawang merah, merupakan biaya tambahan yang dikeluarkan konsumen untuk pengiriman dari produsen serta  keuntungan distributor, agen hingga pedagang kecil.

Kepala BPS Kaltara, Eko Marsoro mengatakan, pemerintah daerah di Kaltara harus segera mengambil kebijakan yang dapat menurunkan MPP di wilayahnya. Terlebih mayoritas jenis komoditas strategis mencatatkan angka persentase di atas rerata nasional.

“Pemerintah harus menganalisa terlebih dahulu. MPP ini tinggi karena yang mahal itu biaya pengangkutan atau keuntungan yang diambil dari setiap mata rantai distribusi. Analisa ini harus mendalam agar kebijakannya benar-benar tepat sasaran,” kata Eko saat dihubungi Koran Kaltara, Kamis (9/1/2020).

Apabila MPP yang tinggi berasal dari biaya pengangkutan, setidaknya ada dua rekomendasi kebijakan yang bisa diambil pemerintah daerah. Pertama, meningkatkan kuantitas produksi lokal. Kedua, mengatur mata awal rantai distribusi yang selama ini dijalankan pihak distributor.

“Kalau masalahnya di margin pengangkutan, berarti masalah utamanya adalah produksi lokal komoditi tersebut tidak mencukupi permintaan masyarakat. Sehingga perlu ada program semisal swasembada beras dan komoditi pangan lainnya,” ulas Eko.

“Adapun untuk alternatif jangka pendeknya, bisa dengan mengatur kembali jalur distribusi barang. Misal dengan mencari daerah produksi yang lebih dekat dari Kaltara, sehingga MPP-nya bisa lebih kecil. Karena biaya untuk bayar kapal dan truk kan lebih murah,” lanjutnya.

Lanjutnya, apabila MPP yang tinggi karena biaya perdagangan, direkomendasikan Eko untuk pemerintah daerah segera mengeluarkan kebijakan batas atas harga jual. Sehingga keuntungan yang diambil dari agen, distributor hingga pedagang, tidak malah merugikan masyarakat.

“Kalau ternyata yang buat mahal ini karena pedagang mengambil untung yang sangat besar, pemerintah bisa masuk dengan kebijakan pengaturan harga. Tapi sebelum itu, potret di lapangan harus juga dicermati. Semisal dipastikan tidak ada faktor lain yang membuat pedagang terpaksa mengambil keuntungan besar,” ulasnya.

“Seperti contoh di Tarakan beberapa waktu lalu. Dimana kios yang mereka sewa itu ternyata berpindah lebih dari satu tangan. Sehingga mau tidak mau, harga barang yang dijual lebih tinggi agar tidak merugi,” ujar Eko mengungkapkan.(*)